Nderek Kamukten kepada Mbah Mukti
Fajar memang baru sesaat menampakkan sang surya. Udara dingin berbalut kabut tipis masih menyelimuti tepian sawah di kiri dan kanan jalan. Keremangan sisa sang malampun masih menyiratkan sisi gelap pagi yang sedikit kelam karena beberapa awan lembut mengayun di kaki langit. Namun di tengah dinginnya hawa pagi, disela lereng Telomoyo dan Gunung Merbabu, nampak ribuan pasang kaki melangkah menuju satu tujuan.
Pagi itu memang bertepatan dengan hari Minggu. Bila masyarakat di perkotaan memanfaatkan Minggu pagi untuk berolah raga dan bersantai ria, maka masyarakat di seputaran Kecamatan Tegalrejo, Magelang, bersatu niat dan satu tujuan menuju Pondok Pesantren An Najach di Dusun Koripan, Kelurahan Dawung. Memang setiap Ahad pagi digelar pengajian akbar dan santapan rohani oleh Mbah Kiai Mukti, sang pengasuh pondok.
Entah darimana saja asal-usul jamaah yang datang, semua serentak menuju kawasan Dusun Koripan. Tua-muda, laki-perempuan, kakek-nenek, bapak-ibu, semua seakan taat pada satu komando untuk berkumpul. Ada yang jalan kaki, ada yang mengendarai sepeda dan sepeda motor, ada yang menyewa angkutan umum, ada yang menggunakan kendaraan pribadi, bahkan ada rombongan dengan mobil bak terbuka, bahkan truk besar. Semua bersatu padu menuju kawasan pondok untuk mengikuti dengan khusuk sabdo mauidzoh khasanah sang kiai.
Bila ditengok dari keberadaan asal-usul jamaah secara sepintas, nampak banyak sekali jamaah yang datang dari daerah yang cukup jauh. Ada yang dari Ngluwar, Srumbung, Salam, dan Muntilan, hingga Kaliangkrik, Bandongan serta Windusari di sudut Kabupaten Magelang. Jamaah dari luar daerahpun tak kalah semangat untuk hadir secara rutin, semisal rombongan dari Temanggung, Wonosobo, Salatiga, Surakarta, bahkan dari Bantul.
Pelaksanaan santapan rohani biasanya dimulai jam 07.00 hingga menjelang pukul 09.00. Pembawaan Mbah Kiai yang lemah lembut dalam berpidato menjadikan hadirin sangat menikmati siraman hati, berupa nasehat hidup dan nilai-nilai kebijaksanaan. Meskipun Mbah Kiai medhar sabdo dengan bahasa Jawa Kromo Inggil, namun sesekali beliau menyelinginya dengan bahasa Indonesia agar jamaah dari luar kota dapat sama-sama menyimak uraian ceramah.
Lautan manusia yang datang di setiap Ahad pagi juga memberikan peluang bagi warga sekitar untuk menjajakan dagangannya. Ada yang berjualan soto, bakso, mie ayam, nasi rames, aneka makanan, baju, aneka alat pertanian, tembakau, aneka permainan anak hingga peralatan dapur dan elektronika. Semua warga seakan turut menikmati keberkahan rejeki dari agenda yang digelar Mbah Kiai. Ini barangkali efek positif kegiatan pengajian massal yang mampu menggerakkan sektor ekonomi kecil dan menengah secara riil.
Segala hal yang manjadi atribut manusia sejatinya adalah titipan atau pinjaman semata. Harta benda, pangkat, jabatan dan kedudukan hanyalah sampiran. Nyawa dan jiwa raga hanyalah gaduhan. Gaduhan merupakan istilah hewan seseorang yang dititipkan pemeliharaannya kepada orang lain, untuk kemudian hasil keuntungannya dibagi dua(diparo) antara pemilik dan pemelihara tersebut. Manusia Jawa mengibaratkan dirinya hanyalah hewan peliharaan atau gembalaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Manusia Jawa adalah manusia yang penuh dengan olah kejiwaan. Stadar hidup yang sejati atau kasejatening urip bukan bertumpu kepada harta benda dan materi fisik. Kekayaan batin, olah rasa dan jiwa menjadi inti dari tujuan hidup. Karena itu ungkapan pencapaian prestasi hidup tidak dihitung dari seberapa banyak harta benda yang dikumpulkan, ataupun seberapa tinggi pangkat dan status yang disandang seseorang. Bagi manusia Jawa sejati tujuan hidup adalah ketentraman, dan ketenangan jiwa, serta keberkahan hidup.
Untuk meraih kamukten hidup, seseorang harus gentur dalam hidupnya. Melatih diri dengan lelaku tapa brata, yaitu mencukupkan keduniawian hanya sebatas apa yang menjadi kebutuhannya. Dengan kata lain, hidup adalah sarana pengibadahan kepada Sang Khaliq. Dunia dipandang hanya sebagai sarana untuk pengabdian kepada-Nya. Dunia bukanlah cita-cita akhir dari pengabdian hidup karena setelah dunia masih ada alam akhirat yang jauh lebih kekal dan abadi.
Inilah alasan kenapa pola hidup sederhana dan mbanyu mili, menikmati hidup dengan penuh kerendahan hati dan rasa syukur kepada Gusti Allah menjadi ciri khas sebagian manusia Jawa yang mengutamakan jiwanya. Kamuktenadalah pilihan hidup, yang lebih dengan penuh kesadaran jiwa, dipilih daripada kamulyan yang bersifat kesementaraan. Dan salah satu jalan hidup yang diyakini untuk menggapai kamukten bagi sebagian warga sebagaimana terurai di atas adalah dengan mengikuti nasehat dan petuah Mbah Kiai Mukti dari Koripan Tegalrejo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar