Rabu, 02 Februari 2011

MENGGAPAI “KAMUKTEN” HIDUP

Nderek Kamukten kepada Mbah Mukti
koripan2
Fajar memang baru sesaat menampakkan sang surya. Udara dingin berbalut kabut tipis masih menyelimuti tepian sawah di kiri dan kanan jalan. Keremangan sisa sang malampun masih menyiratkan sisi gelap pagi yang sedikit kelam karena beberapa awan lembut mengayun di kaki langit. Namun di tengah dinginnya hawa pagi, disela lereng Telomoyo dan Gunung Merbabu, nampak ribuan pasang kaki melangkah menuju satu tujuan.
Pagi itu memang bertepatan dengan hari Minggu. Bila masyarakat di perkotaan memanfaatkan Minggu pagi untuk berolah raga dan bersantai ria, maka masyarakat di seputaran Kecamatan Tegalrejo, Magelang, bersatu niat dan satu tujuan menuju Pondok Pesantren An Najach di Dusun Koripan, Kelurahan Dawung. Memang setiap Ahad pagi digelar pengajian akbar dan santapan rohani oleh Mbah Kiai Mukti, sang pengasuh pondok.
koripan1Bumi Tegalrejo, semenjak di masa lalu memang sudah dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam, bahkan konon semenjak jaman Wali Songo. Jejak dakwah Islam telah terabadikan dengan banyaknya pondok pesantren yang tersebar merata di sebagian wilayah tersebut. Ada pesantren API asuhan keturunan Kiai Chudlori, pesantren Geger, termasuk Pesantren An Najach pimpinan Mbah Kiai Mukti di Koripan yang menggelar hajatan rutin berupa pengajian akbar di setiap Ahad pagi..
Entah darimana saja asal-usul jamaah yang datang, semua serentak menuju kawasan Dusun Koripan. Tua-muda, laki-perempuan, kakek-nenek, bapak-ibu, semua seakan taat pada satu komando untuk berkumpul. Ada yang jalan kaki, ada yang mengendarai sepeda dan sepeda motor, ada yang menyewa angkutan umum, ada yang menggunakan kendaraan pribadi, bahkan ada rombongan dengan mobil bak terbuka, bahkan truk besar. Semua bersatu padu menuju kawasan pondok untuk mengikuti dengan khusuk sabdo mauidzoh khasanah sang kiai.
Bila ditengok dari keberadaan asal-usul jamaah secara sepintas, nampak banyak sekali jamaah yang datang dari daerah yang cukup jauh. Ada yang dari Ngluwar, Srumbung, Salam, dan Muntilan, hingga Kaliangkrik, Bandongan serta Windusari di sudut Kabupaten Magelang. Jamaah dari luar daerahpun tak kalah semangat untuk hadir secara rutin, semisal rombongan dari Temanggung, Wonosobo, Salatiga, Surakarta, bahkan dari Bantul.
koripan5Ribuan jamaah yang datang di setiap Ahad Pagi menjadikan kawasan pondok banjir oleh para jamaah. Meskipun ukuran masjid pondok dan ruang belajar yang digunakan untuk menampung jamaah cukup luas, namun tetap saja tidak dapat menampung keseluruhan jamaah. Akhirnya jamaahpun meluap hingga ke pelataran, halaman rumah warga sekitar, di pasar dan jalanan, bahkan yang paling seru ada yang terpaksa duduk lesehan di pematang sawah dan tepian kali dusun. Satu hal yang sangat mengagumkan, bahwa semua itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan proses pembelajaran dan pencarian ilmu sejati sebagai bekal kehidupan kelak setelah kematian.
Pelaksanaan santapan rohani biasanya dimulai jam 07.00 hingga menjelang pukul 09.00. Pembawaan Mbah Kiai yang lemah lembut dalam berpidato menjadikan hadirin sangat menikmati siraman hati, berupa nasehat hidup dan nilai-nilai kebijaksanaan. Meskipun Mbah Kiai medhar sabdo dengan bahasa Jawa Kromo Inggil, namun sesekali beliau menyelinginya dengan bahasa Indonesia agar jamaah dari luar kota dapat sama-sama menyimak uraian ceramah.
Lautan manusia yang datang di setiap Ahad pagi juga memberikan peluang bagi warga sekitar untuk menjajakan dagangannya. Ada yang berjualan soto, bakso, mie ayam, nasi rames, aneka makanan, baju, aneka alat pertanian, tembakau, aneka permainan anak hingga peralatan dapur dan elektronika. Semua warga seakan turut menikmati keberkahan rejeki dari agenda yang digelar Mbah Kiai. Ini barangkali efek positif kegiatan pengajian massal yang mampu menggerakkan sektor ekonomi kecil dan menengah secara riil.
koripan3Manusia Jawa sejati tidak pernah neko-neko dalam menjalani hidup. Hidup adalah pemberian Yang Maha Hidup, Gusti Allah. Manusia di dunia hanyalah menjalankan segala macam titah-Nya. Kehidupan di dunia hanyalah kesementaraan karena memang dunia hanyalah alam fana.
Segala hal yang manjadi atribut manusia sejatinya adalah titipan atau pinjaman semata. Harta benda, pangkat, jabatan dan kedudukan hanyalah sampiran. Nyawa dan jiwa raga hanyalah gaduhanGaduhan merupakan istilah hewan seseorang yang dititipkan pemeliharaannya kepada orang lain, untuk kemudian hasil keuntungannya dibagi dua(diparo) antara pemilik dan pemelihara tersebut. Manusia Jawa mengibaratkan dirinya hanyalah hewan peliharaan atau gembalaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Manusia Jawa adalah manusia yang penuh dengan olah kejiwaan. Stadar hidup yang sejati atau kasejatening urip bukan bertumpu kepada harta benda dan materi fisik. Kekayaan batin, olah rasa dan jiwa menjadi inti dari tujuan hidup. Karena itu ungkapan pencapaian prestasi hidup tidak dihitung dari seberapa banyak harta benda yang dikumpulkan, ataupun seberapa tinggi pangkat dan status yang disandang seseorang. Bagi manusia Jawa sejati tujuan hidup adalah ketentraman, dan ketenangan jiwa, serta keberkahan hidup.
koripan6Tujuan hidup yang melandaskan kepada nilai-nilai kejiwaan yang hakiki itulah yang dimaksud dengan “kamukten”. Adapun harta benda dan indikator kesuksesan material atau benda fisik disebut sebagai “kamulyan”. Sebenarnya tidak ada dikotomi yang ekstrem antara kamulyandan kamukten. Dua-duanya bisa saja bersanding menjadi satu dalam diri seseorang. Namun satu hal yang paling utama bahwa kamukten dan kamulyan hidup yang diraih itu haruslah didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan sesama.
Untuk meraih kamukten hidup, seseorang harus gentur dalam hidupnya. Melatih diri dengan lelaku tapa brata, yaitu mencukupkan keduniawian hanya sebatas apa yang menjadi kebutuhannya.  Dengan kata lain, hidup adalah sarana pengibadahan kepada Sang Khaliq. Dunia dipandang hanya sebagai sarana untuk pengabdian kepada-Nya. Dunia bukanlah cita-cita akhir dari pengabdian hidup karena setelah dunia masih ada alam akhirat yang jauh lebih kekal dan abadi.
Inilah alasan kenapa pola hidup sederhana dan mbanyu mili, menikmati hidup dengan penuh kerendahan hati dan rasa syukur kepada Gusti Allah menjadi ciri khas sebagian manusia Jawa yang mengutamakan jiwanya. Kamuktenadalah pilihan hidup, yang lebih dengan penuh kesadaran jiwa, dipilih daripada kamulyan yang bersifat kesementaraan. Dan salah satu jalan hidup yang diyakini untuk menggapai kamukten bagi sebagian warga sebagaimana terurai di atas adalah dengan mengikuti nasehat dan petuah Mbah Kiai Mukti dari Koripan Tegalrejo.
koripan4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar